Minggu, 04 Mei 2014

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

Sabtu, 03 Mei 2014

Integrasi TIK di Kurikulum 2013, sebuah Sains Fiksi

quo2
“TIK tidak dihapuskan dari Kurikulum 2013, tetapi di-integrasikan ke semua mata pelajaran”. Demikian jawaban pemerintah saat Kurikulum 2013 tidak mencantumkan TIK dalam jajaran kurukulumnya. Benarkah statement Kemendikbud tersebut? Atau sekedar statement “ngeles” official, setelah menyadari kesalahan fatalnya tidak menyertakan kurikulum penting itu? Sehingga daripada merevisi absurd kurikulum yang dibuatnya, dibuatlah statement “tambalan” sebagai “jalan kabur” dari kerusakan K13 ?
Integrasi
Mari kita mencermati makna kata ini, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Intergrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Dua hal yang diintegrasikan biasanya menciptakan sesuatu yang berbeda, sebuah bentuk baru yang bulat atau utuh, yang tidak lagi sama dengan bentuk asalnya.
Dari makna tersebut kita mengambil kesimpulan, integrasi TIK ke semua mata pelajaran lain berarti : pembauran TIK dengan mapel lain menjadi kesatuan utuh. Umpama kita mengintegrasikan TIK dengan Bahasa Indonesia, artinya kedua mapel ini berbaur dalam porsi yang sama. Sebuah pelajaran bahasa Indonesia yang juga mempelajari jenis-jenis bahasa pemrograman umpamanya dalam korelasinya sebagai bahasa. Atau TIK diintegrasikan dengan agama, artinya dalam kurikulum akan ada Kompetensi Inti atau Kompetensi Dasar yang mengajarkan tentang bahaya Internet dalam hubungan dengan moralitas. TIK diintegrasikan dengan Matematika, artinya kita belajar tentang Persamaan dan Logika yang digunakan keduanya bersamaan.
Melihat hal itu, berarti ada perubahan dalam KI-KD setiap mapel hasil dari integrasi tersebut. Tidak mungkin sebuah integrasi tanpa mengubah keduanya. Tapi apakah kita melihat perubahan KI-KD dalam K13 yang membahas tentang TIK?
Tanpa hitam diatas putih perubahan KI-KD yang terintegrasi TIK, dapat dikatakan Integrasi TIK dalam K13 adalah kebohongan besar.
K13 Tidak Mempelajari TIK, Tapi Menggunakan TIK
Ini adalah statemen “ngeles” yang kedua oleh Kemendikbud. Namun penggunaan TIK dalam dunia pendidikan Indonesia secara merata adalah sebuah dunia Sains Fiksi. Kenapa saya katakan itu adalah khayalan Sain Fiksi? Apakah pemerintah punya data akan kesiapan tiga hal ini secara nasional?
1. Infrastruktur dan Fasilitas TIK disetiap sekolah.
2. Tingkat Pemahaman dan Kecakapan rata-rata Guru dalam menggunakan TIK.
3. Tingkat Pemahaman dan Ketrampilan rata-rata Siswa dalam menggunakan TIK saat TIK tidak diajarkan secara formal disekolah.
Kalau pemerintah tidak punya ketiga data tersebut, maka saya berani mengatakan bahwa program penggunaan TIK sebagai alat belajar secara merata dalam pendidikan nasional adalah khayalan fiksi. Membuat program mengada-ngada, tidak ada tujuannya.
Demikianlah kita hidup dinegara yang katanya mau bikin pendidikan berbasis Saintikal… tapi dengan proses Fiksi…
Sementara hubungan Sains dan Fiksi hanya satu… yaitu film Sains Fiksi.
Mungkin Kemendikbud tidak seharusnya bikin Kurikulum… mereka lebih cocok bekerjasama dengan Hollywood membuat film sain fiksi.

Para Intelektual

agent_of_change_poster_v3Pendidikan itu mencerdaskan dengan keseluruhan proses yang memanusiawikan. Oleh karena itu, para tokoh intelektualnya, para gurunya, memancarkan dan mengalirkan integritas.
Ada seorang guru yang mengalami penderitaan berat, tetapi dia tak jera. Ia tidak tergiring menjadi penjual integritas ke-guru-annya. Sebaliknya, ia makin cinta dan menghadirkan diri sebagai agent of change di dunianya.
Dia berasal dari Cekoslovakia, negara yang kini terbelah dua, Ceko dan Slovakia. Oleh ayahnya dia dikirim ke Indonesia dengan harapan mendapat masa depan lebih baik karena keluarganya yang berdarah Yahudi semua meninggal di kamp konsentrasi Hitler. Hanya satu saudaranya yang bisa melarikan diri.
Meski demikian, awal-awal kehidupannya di Indonesia tak kalah berat. Tentara Jepang menggiringnya ke interniran di Cimahi selama dua tahun, masuk kubangan penganiayaan dan penderitaan walau bukan orang Belanda. Untunglah ia selamat.
Energinya yang tiada habis memungkinkan jiwa mudanya berkelana hingga memperoleh beasiswa doktoral di Cornell University. Disertasinya tentang ”Islam Indonesia di Saat Pendudukan Jepang” menjadi emblem intelektualitas dan pasionitasnya akan sejarah modern Indonesia.
Guru itu bernama Harry Jindrich Benda. Sebagian sahabat memanggilnya Heinz Benda. Lahir tahun 1919 dan wafat di usia terbilang muda, 52 tahun.
Dalam studi sejarah Indonesia modern namanya tidak mungkin dihapus dari catatan kaki dan daftar kepustakaan karena pemahaman intelektualnya yang luar biasa mengenai dinamika politik Indonesia sesudah merdeka.
Dalam beberapa tulisan tentang keterkaitan politik dan para intelektual, ia sangat konstan dalam kritik mengenai ”pengkhianatan intelektual” oleh para cendekia. Ia tidak ingin mereka terjebak dalam ”pelacuran intelektual” dan ”elitisme”.
Bisakah intelektualitas ”dikhianati”? Bisa, halnya nyata saat integritas pendidikan digiring kepada pemihakan kekuasaan. Atau, saat kekuasaan politik mengangkangi skema idealitas pendidikan. Pendidikan tercebur ke kubang kekuasaan saat terjadi pengkhianatan intelektual. Intelektualitas tidak lagi mengabdi anak didik, melainkan ideologi kekuasaan.
Kapan ”pelacuran” intelektual terjadi? Ketika segala apa yang menjadi komponen ”integritas” dijual murah untuk kenyamanan dan keenakan sementara. Komunitas intelektual yang secara murah bermesraan dengan kekuasaan atau ideologi—dalam discernment ala Harry J Benda—berimpitan dengan pelacuran intelektual.
 
Elitisme
Dalam Non-Western Intelegentsias as Political Elites (Journal of Politics and History, nomor 6, 1960) Harry J Benda berkata, keterkaitan intelektualitas dan ke-elite-an posisi dalam masyarakat tidak bisa dimungkiri.
Dalam societas yang sedang dilanda euforia demokrasi dan secara primitif masih mengawali langkah-langkah pembenahan struktur ekonomis, sosial, dan budaya, prinsip Platonian ”raja filosof” menemukan rumahnya.
”Raja” merupakan terminologi cetusan kekuasaan dan kekuatan politis. ”Filosof” menunjuk pada kehadiran para intelektual.
Prinsip ”raja filosof”, yang dalam makna aslinya di Republic (Plato), menunjuk kepada necesitaskehadiran pemimpin yang harus mengerti prinsip keadilan, kini dalam elitisme menjadi emblem mesranya intelektual dengan penguasa.
Alih-alih para intelektual mampu mengarahkan penguasa politik, yang hampir selalu terjadi adalah kebalikannya. Para penguasa mempekerjakan dan mendominasi para intelektual. Intelektualitasnya menjadi ”senjata ideologis” penguasa untuk menaklukkan semua musuh politiknya.
Para teoritikus kritis menyebutnya ”intelektualitas instrumentalis” (Max Horkheimer, Eclipse of Reason, 1947). Pendidikan sebagai wahana kemanusiaan lantas bergeser menjadi sekadar ”instrumen kekuasaan”.
Inilah yang dicemaskan oleh Harry J Benda mengenai para eksponen pendidikan di Tanah Air. Elitisme menindas integritas para pendidik.
Elitisme terjadi ketika intelektual melirik kekuasaan dan menanggalkan tugasnya mengabdi kemanusiaan. Saat intelektualitas berada di pinggiran kekuasaan, saat itu pula berhenti segala idealisme mengenai pendidikan.
Para intelektual senyatanya adalah manusia biasa. Mereka suka bercengkerama dalam kenyamanan dan senang dalam sangkar indahnya kekuasaan. Namun, berbeda dengan rakyat biasa, para intelektual memiliki kekuatan bahasa ilmiah.
Dalam buku kebijaksanaan kuno terdapat ungkapan, ”Lebih baik dia diikat lehernya dengan pemberat besi dan ditenggelamkan di laut daripada menyesatkan budi dan batin anak-anak.” Ungkapan ini tidak lain hendak menegaskan ”tugas suci” setiap proses pendidikan dan kewajiban indah para tokohnya.
Akhir-akhir ini ada gejala-gejala nyata perihal campur aduk pesona kekuasaan bersanding dengan para elite pelaku pendidikan. Memang siapa pun senang ”jago”-nya menang dalam persaingan politik.
Namun, belajar dari sosok Harry J Benda, seharusnya kehadiran para intelektual menjadi lentera integritas manusia atau obor di kegelapan politik. Setiap isyarat peluk-mesra yang menandai tendensi pemihakan kekuasaan selalu menjadi tanda mundurnya kualitas pendidikan.
Pendidikan mempromosikan prinsip kesetiaan pada kebenaran. Dengan berdiri pada fondasi integritas, para pelaku pendidikan semestinya tidak gentar mengkritik setiap penyalahgunaan bahasa penguasa dan mengajar kesetiaan pada keadilan dan perdamaian tata politik bangsa. Peran mereka dalam sejarah memiliki karakter transisional sebagai agen perubahan (agent of change), bukan perubahan yang menindas tetapi memanusiawikan.

Jumat, 02 Mei 2014

BUDAYA KERJA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

BUDAYA KERJA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Ketua LPP Al Irsyad Al Islamiyyah Pemalang 

Dunia kerja memang dapat memberikan dampak yang sangat besar dalam kelangsungan sebuah pekerjaan. Berhasil atau tidaknya suatu pekerjaan juga banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk di dalamnya adalah budaya kerja yang baik, akan dapat memberikan kontribusi efektif dalam pencapaian tujuan yang diharapkan. Untuk dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan, tentunya ada banyak langkah dan metode yang harus ditempuh. Metode dan langkah yang diambil sudah barang tentu harus mengacu serta berpedoman pada fungsi-fungsi dalam manajemen baik itu menyangkut perencanaan, pengorganisasian, aktifitas kegiatan/ pelaksanaan maupun pada tingkat pengawasan / control yang sangat efektif. Untuk dapat mengetahui budaya kerja yang efektif, kita akan mengawali pembahasan yang berkaitan dengan budaya kerja dalam persepektif pendidikan islam. Islam merupakan agama yang sangat Universal dan memberikan ruang yang luas bagi pemeluknya untuk mengaktualisasikan serta mengamalkan ajaran agamanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan yang terkandung di dalam Al Qur’an : “ masuklah ke dalam Islam secara sempurna … “ ( QS. Al Baqarah : 108 ) Di samping islam sebagai agama yang sempurna dan penuh rahmat bagi seluruh alam, islam juga memberikan banyak pedoman dalam seluruh aspek kehidupan yang menyertai kehidupan setiap insan beriman. Sebelum kelahiran kita ke dunia, barang kali di situ pula kita sudah mendapatkan bimbingan dan petunjuk untuk mendapatkan pendidikan secara islami. Sejak dalam kandungan, kita sudah diperintahkan untuk memberikan pendidikan sedini mungkin demi kelangsungan kelahiran seorang bayi secara sehat dan sempurna fisik maupun psykis, serta harapan - harapan lain dari sang ibu untuk mendapatkan anak yang sehat, cerdas dan berakhlaq mulia. 

Selain dari itu, kita sudah diajarkan pula untuk memulai semua pekerjaan dengan bacaan basmalah, dan lain sebagainya yang menjadi aktifitas sehari – hari agar senantiasa memiliki nilai ibadah. Dengan demikian, apa yang kita lakukan akan mendapat keberkahan baik berkah dari sumber yang diterima maupun sisi pemanfaatannya benar - benar memberikan ketenangan di dalam hidup. Budaya merupakan aktifitas rutin yang membekas secara terus – menerus dan terbentuk pada diri seorang maupun kelompok orang dalam suatu komunitas tertentu. Sehingga, ketika hal ini berlaku dan tidak dilandasi dengan nilai-nilai islam, maka yang terjadi adalah sebuah budaya (kultur) yang menyimpang dan cenderung pada asumsi tertentu. Mungkinkah, kita menghendaki budaya yang demikian, apalagi bila terjadi pada sebuah pendidikan islam. Tentu kita tidak mengharapkannya. Marilah kita mencoba untuk melihat secara jauh, bagaimana islam menempatkan persoalan dalam setiap persoalan, artinya islam akan memberikan porsi suatu masalah sesuai dengan masalahnya. Budaya islam tentunya akan memberikan sesuatu yang berbeda dan membekas pada komunitas yang ada, sehingga harus bisa dikembangkan dan dilestarikan pada dunia pendidikan khususnya pendidikan islam, yang nota bene melabelkan islam sebagai identitasnya. Kita banyak mengetahui, tidak sedikit lembaga pendidikan yang melabelkan diri dengan islam, namun dalam perjalanannya justru tidak memberikan kontribusi terhadap nilai- nilai islam, bahkan yang tragis sekali lebih terbawa pada sebuah budaya luar yang cenderung dikembangkan. Semua ini, menjadi pengalaman dan pamandangan bagi kita untuk mampu mengembalikan sudut pandang kurang relevan ini kepada nilai-nilai yang tepat, yakni islam sebagai rujukannya. Budaya islam sangatlah tepat pada setiap zaman, untuk dijadikan pedoman dalam setiap aspek kehidupan, kapan dan di manapun kita berada. Apabila kita mampu mengubah dan melestarikan nilai-nilai yang sudah ditegaskan dalam islam, maka lambat laun, keharmonisan, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan serta kesetiaan (loyalitas) akan terbentuk dengan sendirinya sesuai harapan semua pihak.

Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda : “ …. Maukah kamu, aku tunjukkan tentang sesuatu yang apabila kamu melakukannya akan saling mencintai ? sebarkanlah salam di antara kalian “ ( HR. Muslim) Melihat bunyi hadits di atas, kita akan bertanya pada diri kita ; “ sudahkah hal ini menyertai dalam lembaga yang kita tempati “. Ini sebuah pertanyaan yang harus mampu kita jawab secara arif dan bijaksana. Kadang kita takut, terhadap kebencian dari orang lain walaupun sebenarnya apa yang kita lakukan merupakan sikap yang harus diterapkan. Namun kita juga kadang berlebihan, walaupun sikap yang kita ambil adalah benar, tetapi langkah dan cara yang digunakan tidak bijaksana. Sehingga yang terjadi adalah ketidakseimbangan dalam komunikasi maupun hubungan yang tidak harmonis. Hal ini, islam telah memberikan pedoman kepada kita, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda : “ Barang siapa yang mencari ridlo Allah meskipun dengan kebencian manusia, maka Allah SWT akan mencukupkannya dari beban manusia “ (HR. At Tirmidi) Al Qur’an juga menjelaskan ; “ Sampaikanlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu, dengan hikmah dan dengan perkataan yang baik serta jegahlah dengan cara yang baik pula …(QS. An Nahl : 125) Mendasari pada ayat di atas, sudah sangatlah jelas bahwa di dalam kita berinteraksi dengan yang lain, ada banyak petunjuk yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan kebaikan di antaranya. Namun demikian, kita sering membuat cara (metode) atau budaya yang didasarkan atas kemauan dan hawa nafsunya sendiri sehingga jauh dari kebaikan. Sebagai contoh, kita butuh situasi menjadi baik, nyaman, harmonis dalam komunikasi, ketenangan dan lain sebagainya. Akan tetapi, kadang kita sendiri, yang menciptakan kitidaknyamanan dalam komunikasi serta situasi yang kurang menyenangkan. Di mana letak kesalahan sebenarnya ?, Tentu bisa disimpulkan, karena tidak merujuk pada budaya islam yang sudah digariskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. 


Cara yang digunakan kurang hikmah, terlalu terburu – buru dengan keinginan kita, tidak bijaksana, perkataan yang disampaikan cenderung bernuansa emosi tanpa kesantunan maupun penuh rahmah dan ketika mencegahpun tidak mengarah pada tujuan kebaikan melainkan berhentinya kejelekan secara sesaat. Oleh karena itu, mari kita bersama – sama untuk merenungkan situasi dan kondisi yang semacam ini sebagai evaluasi diri kita masing - masing. Masihkah ada di antara lingkungan kita ? atau bahkan memang berjalan budaya yang semacam ini. Kita selalu berharap kepada Allah SWT agar senantiasa diberikan kemampuan dan kesabaran di dalam kita melakukan amar ma’ruf nahi munkar, serta menciptakan budaya yang tepat sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan selalu dalam ridlo Nya, amin. Kesimpulannya adalah agar kita selalu mengedapankan petunjuk - petunjuk yang telah jelaskan di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah dibandingkan dengan hawa nafsu belaka sehingga tidak aka ada kebaikan di dalamnya. Selain dari itu, sebaik apapun budaya yang dikembangkan selama menyelisihi ketentuan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka tidak dapat dijadikan rujukan untuk dilestarikan. Akan tetapi, relevan atau tidak (menurut ukuran umum) apabila bersumber dari Al qur’an dan As Sunnah, maka harus tetap kita budayakan dan dipertahankan untuk menjadi sebuah budaya.(pen.albert’s.2010)

MAHASISWA BERKUALITAS

MAHASISWA BERKUALITAS


Berbicara tentang MAHASISWA berkualitas, hal pertama yang harus kita kritisi dan pertanyakan kembali adalah apa arti dari mahasiswa itu sendiri? Lalu berkualitas seperti apa???

 “ Mahasiswa ” itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa atau murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiyah, “ mahasiswa ” terdiri dari dua kata, yaitu ” Maha ” yang berarti tinggi dan ” Siswa ” yang berarti subyek pembelajar, jadi dari segi bahasa “ mahasiswa ” diartikan sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi atau universitas. Juga bisa di maknai dengan seseorang yang tidak terbatas hasratnya, tidak pernah habis dan padam semangatnya untuk terus belajar dan menimba Ilmu.

Sedangkan mahasiswa yang berkualitas adalah mahasiswa yang tidak hanya sekedar 3D (datang,duduk,domblong) atau kupu-kupu (kuliah,pulang-kuliah,pulang).  Tetapi harus mempunyai kesadaran untuk terus menggali informasi, ilmu pengetahuan, berfikir kritis, logis, berkemauan tinggi, berkerja keras, tanggap terhadap permasalahan bangsa dan membekali diri dengan kapasitas keilmuan yang tinggi, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata terhadap kemajuan bangsa dan masyarakat.

Mahasiswa yang berkualitas juga harus bisa mewujudkan fungsi moral dalam kehidupan bermasyarakat yang dikenal sebagai berikut:
  1. Agent of change ( agen perubahan ) Mahasiswa dengan jiwa mudanya sangat berpotensi menjadi agen perubahan dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa.
  2. Agent of study ( agen pendidikan ) Mahasiswa yang disebut kaum intelektual ini, juga seharusnya memiliki ilmu sesuai bidangnya, tidak hanya beropini tanpa dasar pemikiran.
  3. Agent of control ( agen pengawasan ) Mahasiswa yang apatis alias cuek bebek tentu tak memahami fungsi mahasiswa yang satu ini, karena fungsi ini mau tidak mau menyita sebagian waktu kita untuk peduli dengan lingkungan sekitar dengan mengamati dan mengkritisinya.

Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang tinggi, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan perguruan tinggi dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut serta atau aktif di Organisasi Mahasiswa, seperti BURS@, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada pembangunan bangsa, seperti PMII.

Jadi jelaslah prestasi bukan satu-satunya ukuran seorang mahasiswa yang berkualitas. Mahasiswa juga dinilai sejauh mana dia dapat menjadi agen perubahan dan juga sejauh mana sang mahasiswa tahu lingkungan sekitarnya dan mampu mengkritisinya, karena berkualitas haruslah berguna, mahasiswa haruslah berguna di lingkungan masyarakatnya. Prestasi tidak cukup bahkan tak berkualitas apabila tak berguna bagi orang lain.

Oleh karena itu, menjadi mahasiswa yang berkualitas tidak hanya sekedar mengetahui, tetapi apa yang di ketahui tersebut harus diterapkan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dimanapun dan kapanpun.

Membuat Display Counter Up- Down dengan Mikrokontroller ATmega16

Sebenarnya agak bingung mulai dari mana enaknya nulis kata-katanya, oh iya maaf banget kawan-kawan sudah lumayan lama saya gak posting lagi. Maklum kemaren banyak banget kendalanya dimulai kebanjiran, sakit dan ngerjain Project “ Sistem Reader ID magnetic  ditambah LCD TFT 230X400 yang lumayan cukup menyita waktu berfikir saya, dan Alhamdulillah sekarang sudah ada titik terang. Amiien..

  • Begini kawan postingan kali ini sedikit berbeda, karena saya akan coba menjawab permintaan kawan kita “ Todalife” pada Postingan Membuat Skematik Counter  UpDown," beliau meminta di buatkan contoh Counter Updown dengan menggunkan mikrokontroller dan ditampilkan dengan 7 segment. Project ini saya beri judul “ Membuat Display Counter Up- Down dengan Mikrokontroller ATmega16”.

Untuk lebih memudahkan kita dalam memahami Project ini, saya akan bagi menjadi tiga bagian yaitu :




Bagian Input : Tombol Push button.
Dalam project kali ini saya mengunakan Push button sebagai input, karena saya pikir komponennya cukup murah dan gampang banget didapatkan, jika ada dari kawan-kawan yang mau nyoba mempraktekan itu bisa lebih memudahkan, tentunya bagian input ini bisa kita modifikasi dengan komponen lain sesuai kebutuhan kita misalnya dengan sensor infra Red , Sensor gerak, Optokopler dan lain sebagainya sesuai kebutuhan kita. Tombol push button ini berfungsi sebagai tombol input untuk Up, down dan reset.
Jika kawan – kawan belum mengerti  mengenai Tombol Push Button Silahkan Baca Postingan Saya sebelumya ”Tombol Push Button”.

Bagian Proses: Mikrokontroller dan Program
Bagian Proses ini kita akan menggunakan mikrokontroller AVR ATmega 16, fitur yang akan kita gunakan adalah timer/counter 1 16 bit (dapat menghitung maksimal 65536), letak timer / counter1 ini berada pada PORTB.1 yang difungsikan sebagai UP, dan PORTA.0 sebagai DOWN.

Bagian Output: 7segment 
Pada bagian output kita akan menggunakan 7segment, yang berfungsi untuk menampilkan nilai counter ke 7segment, sistem  pemograman yang akan digunakan adalah dengan menggunakan sistem scaning, yaitu sistem pemograman dengan pengiriman data perbagian (satu persatu per 7segment) keunggulan sistem ini kita tidak perlu memerlukan port yang bayak untuk mengontroll banyak komponen dibanding dengan sistem pemograman standar .
Oke sepertinya sudah terlalu panjang dan lebar pembahasannya , entar jenuh lagi  he… kita langsung  saja ke gambar skematiknya, skematiknya seperti berikut ini kawan:

Gambar: Skematik Counter Up Down Menggunakan Mikrokontroller ATmega16

Untuk listing Programnya seperti berikut ini:

//  -----------------------------------------------------------------------
//                              LES ELEKTRONIKA BLOG
//                          " Padepokan Pendekar Solder "
//  Kunjungi blog Les ELektronika Untuk Mendapatkan Pengetahuan Elektronika
//                 di: -==> http://adityadicky01.blogspot.com/
//             Sharing melalui e-mail di: adityadicky04@gmail.com
//  -------------------------------------------------------------

#include ;  // memasukan fungsi ic mikrokontroller
#include ;   // memasukan fungsi delay/jeda

#define yes 1;
#define no  0;

int data, data_temp, tampil;
int status_in;
char ribuan=0, ratusan=0, puluhan=0, satuan=0, ubah;

void data_counter();
void Display_7segment();



void data_counter()
{
    if (TCNT1==10000){TCNT1=0;}//jika counter bernilai 10000 maka kembali lagi ke 0000
   
  
    if (PINA.0==1)
    { status_in=1;
    }
    if ((PINA.0==0)&&(status_in==1))
    { status_in=0;
     if(TCNT1>=1){
                    TCNT1--;    }
     if(TCNT1<=0){
                    TCNT1=0;    }              
    }
    data=TCNT1;//nilai dari register counter1 diumpankan ke data
  
   
}

void Display_7segment()
{
      PORTC=ribuan;//mengirimkan data ribuan
      PORTD=0b11110111;//menyalakan digit1
      delay_ms(5);

      PORTC=ratusan;//mengirimkan data ratusan
      PORTD=0b11111011;//menyalakan digit2
      delay_ms(5);

      PORTC=puluhan;//mengirimkan data puluhan
      PORTD=0b11111101;//menyalakan digit3
      delay_ms(5);

      PORTC=satuan;//mengirimkan data satuan
      PORTD=0b11111110;//menyalakan digit4
      delay_ms(5);
      //lamanya waktu scanning ditentukan oleh intruksi delay
}

void Convert_ke_7segment()//fungsi untuk mengubah kedalam format 7segment
{
      if (ubah==0){tampil=0xc0;}
      if (ubah==1){tampil=0xf9;}
      if (ubah==2){tampil=0xa4;}
      if (ubah==3){tampil=0xb0;}
      if (ubah==4){tampil=0x99;}
      if (ubah==5){tampil=0x92;}
      if (ubah==6){tampil=0x82;}
      if (ubah==7){tampil=0xf8;}
      if (ubah==8){tampil=0x80;}
      if (ubah==9){tampil=0x90;}
}

void Kirim_data_Perdigit()
{
      data_temp=data;
      satuan=data_temp%10;//sisa dari pembagian disimpan di variabel satuan
      ubah=satuan;
      Convert_ke_7segment();//panggil fungsi mengubah kedalam format 7segment
      satuan=tampil;

      data_temp=data_temp/10;
      puluhan=data_temp%10;
      ubah=puluhan;
      Convert_ke_7segment();
      puluhan=tampil;

      data_temp=data_temp/10;
      ratusan=data_temp%10;
      ubah=ratusan;
      Convert_ke_7segment();
      ratusan=tampil;

      data_temp=data_temp/10;
      ribuan=data_temp%10;
      ubah=ribuan;
      Convert_ke_7segment();
      ribuan=tampil;
}

void main(void)
{
PORTA=0xff;
DDRA=0xff;

PORTC=0xff;
DDRC=0xff;

PORTD=0x0f;
DDRD=0x0f;

// Timer/Counter 1 initialization
// Clock source: T1 pin Falling Edge
// Mode: Normal top=FFFFh
// OC1A output: Discon.
// OC1B output: Discon.
// Noise Canceler: Off
// Input Capture on Falling Edge
// Timer 1 Overflow Interrupt: Off
// Input Capture Interrupt: Off
// Compare A Match Interrupt: Off
// Compare B Match Interrupt: Off
TCCR1A=0x00;
TCCR1B=0x06;
TCNT1H=0x00;
TCNT1L=0x00;
ICR1H=0x00;
ICR1L=0x00;
OCR1AH=0x00;
OCR1AL=0x00;
OCR1BH=0x00;
OCR1BL=0x00;

// Analog Comparator initialization
// Analog Comparator: Off
// Analog Comparator Input Capture by Timer/Counter 1: Off
ACSR=0x80;
SFIOR=0x00;

status_in=0;

while (1)
      {
      data_counter();
      Kirim_data_Perdigit();
      Display_7segment();
      };
}

Untuk file program lengkap dan File Simulasi dengan proteusnya silahkan download Disini.

Mungkin ini Saja dulu Postingan dari saya semoga bisa terbantu dan bermanfaat...
Kalo ada kekurangan dari tulisan saya atau ada yang mau sharing, silahkan share di kolom komentar...

Intruksi dasar dalam penulisan bahasa C (#include dan #define)


Selamat malam kawan - kawan pendekar solder, gimana sehat?. Alhamdulillah pada kesempatan ini akhirnya saya bisa kembali berbagi dengan kawan pendekar solder, setelah beberapa minggu kemarin disibukan dengan Ujian Akhir Semester (UAS) dan mengerjakan project dari kawan kita (kang hadi- batam dan a angga-bandung) dan alhamdulillah  projectnya telah selesai. kawan diwaktu istirahat pulang kerja ini saya akan mencoba berbagi sedikit mengenai beberapa intruksi dan cara penulisan dasar bahasa C.
Pada postingan sebelumnya telah diuraikan mengenai Struktur penulisan program bahasa C, kalau kita lihat di contoh programnya mungkin ada beberapa yang belum mengerti maksud dari intruksi tersebut, nah pada kesempatan ini saya akan mencoba menjelaskannya secara singkat. Kita langsung saja ke TKP.


Simbol Pagar ( # ).    
Dalam pembuatan program bahasa C kita pasti sering menemukan simbol ini, biasanya ketika mendefinisikan sebuah variable. Simbol “ # ” dinamakan “Preprocessor”, simbol ini digunakan untuk memasukan text dari file lain (header file), dan juga digunakan untuk mendefinisikan macro sebuah variable.
Contoh penggunaan #
#include : memasukan atau menyertakan file lain dengan program yang kita buat, file yang dimasukan/lampirkan berupa header file (nama file .h), dalam header file biasanya berupa file library program.  
            Contoh penggunaan dalam program:





# Define :
“#define” digunakan untuk mendefinisikan sebuah variable (pin input - output dll) dengan nama variable baru, fungsi mendefinisikan variable ini agar dalam pembuatan program kita lebih mudah mengingat nama variablenya, dari itu usahakan dalam mendefinisakan sebuah variable gunakan nama variable yang mencerminkan fungsinya. Sehinga ketika kita menganilisa program akan lebih mudah memahaminya.
 Contoh:         
Ketika kita mempunyai input sensor, kemudian sensor itu tersambung dengan PINA.0.
#define             sensor              PINA.0

Ketika output kita misalkan menggunakan lampu dan berada di PORTC.0:
#define             lampu              PORTC.0

atau mendefinisikan nilai 0 dan 1, ketika input atau output bernilai 0 adalah aktif, sementara 1 tidak aktif:
#define             ON                  0
#define             OFF                1

Ketika sudah didefinisikan kita bisa menggunakan variable tersebut. Misalkan untuk menyalakan atau mematikan lampu kita bisa menuliskan programnya seperti ini:
lampu=ON;
lampu=OFF;

sekarang coba bandingkan dengan program seperti ini:
PORTC.0=0;
PORTC.0=1;
Lebih mudah mana dalam menganalisanya?, bayangkan jika variablenya itu ratusan pula.. he…

Bagaimana kawan pendekar solder, ngertikan maksud saya, he… semoga saja bisa dimengerti, kalau belum mengerti juga, coba baca sekali lagi, kalau masih belum ngerti juga kawan – kawan jangan putus asa tanya aja dikolom komentar atau hubungi saya juga boleh. yaudah kalau begitu sekian dulu ya kawan - kawan sampe ketemu lagi… wasalam